Keutamaan Ilmu Nahwu dan Mempelajarinya (Nahwu #1)
Pendahuluan: Keutamaan Ilmu Nahwu dan Mempelajarinya
Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menurunkan Al-Qur’an sebagai mukjizat abadi. Dia menjadikannya dalam bahasa Arab. Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian mengerti."
(QS. Yusuf: 2)
Dan firman-Nya pula:
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
"Dengan bahasa Arab yang jelas."
(QS. Asy-Syu‘ara: 195)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah alat utama untuk memahami, mentadabburi, dan menyelami makna Al-Qur’an. Oleh karena itu, bahasa Arab menjadi sarana penting dalam memahami ajaran Islam.
Para ulama salaf sangat menganjurkan untuk mempelajari bahasa Arab dan menjadikannya bagian dari agama. Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy‘ari radhiyallahu ‘anhu:
مَّا بَعْدُ؛ فَتَفَقَّهُوا فِي السُّنَّةِ، وَتَفَقَّهُوا فِي الْعَرَبِيَّةِ، وَأَعْرِبُوا الْقُرْآنَ؛ فَإِنَّهُ عَرَبِيٌّ، وَتَمَعْدَدُوا؛ فَإِنَّكُمْ مَعَدِّيُّونَ
"Amma ba‘du. Pahamilah as-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab, dan i‘rab-kanlah Al-Qur’an, karena ia berbahasa Arab. Kenalilah nasab kalian, karena kalian adalah keturunan Ma‘ad."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 30534)
Ubay bin Ka‘b radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
تَعَلَّمُوا الْعَرَبِيَّةَ كَمَا تَعَلَّمُونَ حِفْظَ الْقُرْآنِ
"Pelajarilah bahasa Arab sebagaimana kalian mempelajari hafalan Al-Qur’an."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 30535)
Bahkan Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sampai menghukum anak-anak mereka karena kesalahan dalam berbahasa (lahn).
(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman no. 1558)
Ibnu ‘Athiyyah rahimahullah mengatakan:
إعرابُ القُرآنِ أصلٌ في الشَّريعةِ؛ لأنَّ بذلك تقومُ معانيه التي هي الشَّرعُ
"I‘rab (tata bahasa) Al-Qur’an adalah fondasi dalam syariat, karena dengan itu makna-maknanya –yang merupakan syariat itu sendiri– bisa ditegakkan."
(Tafsir al-Muharrar al-Wajiz, 1/40)
Sementara itu, ‘Amir Asy-Sya‘bi menyatakan:
النَّحْوُ فِي الْعِلْمِ كَالْمِلْحِ فِي الطَّعَامِ لَا يُسْتَغْنَى عَنْهُ
"Nahwu dalam ilmu itu seperti garam dalam makanan, tidak bisa ditinggalkan."
(Al-Jami‘ li Akhlaq ar-Rawi karya Al-Khatib al-Baghdadi, 2/28)
Oleh karena itu, para ahli hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) memulai dengan mempelajari nahwu dan bahasa Arab sebelum belajar hadits dan Al-Qur’an. Waki‘ bin al-Jarrah menceritakan:
أَتَيْتُ الْأَعْمَشَ أَسْمَعُ مِنْهُ الْحَدِيثَ، وَكُنْتُ رُبَّمَا لَحَنْتُ، فَقَالَ لِي: يَا أَبَا سُفْيَانَ، تَرَكْتَ مَا هُوَ أَوْلَى بِكَ مِنَ الْحَدِيثِ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ، وَأَيُّ شَيْءٍ أَوْلَى مِنَ الْحَدِيثِ؟ فَقَالَ: النَّحْوُ. فَأَمْلَى عَلَيَّ الْأَعْمَشُ النَّحْوَ، ثُمَّ أَمْلَى عَلَيَّ الْحَدِيثَ
"Aku datang kepada Al-A‘mash untuk mendengar hadits darinya, dan aku terkadang melakukan lahn (kesalahan bahasa), maka ia berkata: ‘Wahai Abu Sufyan, engkau meninggalkan sesuatu yang lebih utama bagimu daripada hadits!’ Aku bertanya: ‘Apa yang lebih utama dari hadits, wahai Abu Muhammad?’ Ia menjawab: ‘Nahwu.’ Lalu Al-A‘mash mengajarkanku nahwu terlebih dahulu, kemudian baru ia menyampaikan hadits kepadaku."
(Al-Jami‘ li Akhlaq ar-Rawi, 2/26)
Dikisahkan pula bahwa Sibawaih pernah duduk belajar hadits kepada Hammad bin Salamah, lalu ia melakukan kesalahan bahasa dalam meriwayatkan hadits. Hammad pun menegurnya:
لحنتَ يا سِيبويهِ! لا جَرَمَ لأطلُبَنَّ عِلْمًا لا تُلَحِّنُني فيه أبدًا، فلَزِمَ الخليلَ بنَ أحمدَ، فبَرَع في النَّحوِ
"Engkau melakukan kesalahan, wahai Sibawaih!"
Sibawaih pun bertekad:
“Kalau begitu, aku akan menuntut ilmu yang tidak akan membuatku salah lagi.”
Maka ia pun berguru kepada Al-Khalil bin Ahmad dan menjadi ahli dalam ilmu nahwu.
(Akhbar an-Nuhat al-Basriyyin karya As-Sirafi, hlm. 35; Tarikh al-‘Ulama an-Nuhat karya At-Tanukhi, hlm. 93)
Begitu juga dengan Syu‘bah bin al-Hajjaj, beliau melarang orang memulai belajar hadits tanpa menguasai bahasa Arab, dan berkata:
مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ فَلَمْ يُبْصِرِ الْعَرَبِيَّةَ، فَمَثَلُهُ مَثَلُ رَجُلٍ عَلَيْهِ بُرْنُسٌ وَلَيْسَ لَهُ رَأْسٌ
"Barang siapa menuntut hadits tapi tidak memahami bahasa Arab, maka keadaannya seperti seseorang yang memakai jubah tetapi tidak memiliki kepala." (Al Jami' Li Akhlaqir Rowy Wa Adab As Sami', 2/26).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
معلومٌ أنَّ تعلُّمَ العَرَبيَّةِ وتعليمَ العَرَبيَّةِ فَرْضٌ على الكِفايةِ، وكان السَّلَفُ يُؤَدِّبُون أولادَهم على اللَّحْنِ؛ فنحن مأمورونَ أمْرَ إيجابٍ -أو أمرَ استِحبابٍ- أن نحفَظَ القانونَ العَرَبيَّ، ونُصلِحَ الألسُنَ المائلةَ عنه، فيَحفَظَ لنا طريقةَ فَهمِ الكِتابِ والسُّنَّةِ، والاقتِداء بالعَرَبِ في خِطَابِها؛ فلو تُرِكَ النَّاسُ على لَحْنِهِم كان نَقْصًا وعَيبًا
"Sudah dimaklumi bahwa mempelajari dan mengajarkan bahasa Arab merupakan fardhu kifayah. Para salaf dahulu mendidik anak-anak mereka agar tidak salah dalam bahasa. Maka kita diperintahkan, baik dalam bentuk kewajiban maupun anjuran, untuk menjaga kaidah bahasa Arab dan memperbaiki lisan yang menyimpang darinya. Hal ini untuk menjaga metode pemahaman terhadap kitab dan sunnah, serta meneladani orang Arab dalam cara berbahasa mereka. Jika manusia dibiarkan terus dengan kesalahan berbahasa, maka itu adalah sebuah kekurangan dan aib."
(Majmu‘ al-Fatawa, 32/252).
Tim Belajar Syariah
Posting Komentar untuk "Keutamaan Ilmu Nahwu dan Mempelajarinya (Nahwu #1)"
Posting Komentar
Santun dalam berkomentar, cermin pribadi anda