Kegembiraan di Hari Raya | Dr. Badr Abdul Hamid Humaisha
Kegembiraan Hari Raya
Dr. Badr Abdul Hamid Humaisha
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Setiap bangsa memiliki hari raya yang mereka rayakan dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Hari raya tersebut mencerminkan keyakinan, akhlak, dan filosofi kehidupan suatu umat. Ada sebagian hari raya yang lahir dari gagasan manusia yang jauh dari wahyu Allah, yaitu hari raya yang berasal dari kepercayaan non-Islami. Sementara itu, Hari Raya Idulfitri dan Iduladha adalah hari raya yang telah disyariatkan oleh Allah untuk umat Islam. Allah SWT berfirman:
"Untuk setiap umat telah Kami tetapkan ibadah tertentu (manasik)." (QS. Al-Hajj: 34).
Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas bahwa kata "manasik" dalam ayat tersebut berarti "hari raya". (Tafsir Ibnu Jarir 17/198). As-Suyuthi juga mengutip pendapat ini dalam kitab Ad-Durr al-Manthur (6/47) dan menisbatkannya kepada Ibnu Abi Hatim.
Idulfitri dan Iduladha berhubungan dengan rukun Islam, di mana Idulfitri datang setelah ibadah puasa Ramadan, sedangkan Iduladha setelah ibadah haji. Berdasarkan dalil-dalil syar’i, hari raya dalam Islam hanya terbatas pada dua hari raya tahunan, yaitu Idulfitri dan Iduladha, selain hari raya mingguan, yaitu hari Jumat. Adapun selain itu, baik yang bersifat mingguan, tahunan, atau bahkan berabad-abad, semuanya termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah).
Ibnu Al-A’rabi berkata: “Hari raya dinamakan ‘id’ karena ia kembali setiap tahun dengan kegembiraan yang baru.” (Dikutip oleh Al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah, 3/132).
Makna ini juga terdapat dalam hadis Nabi. Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan:
"Abu Bakar masuk ke rumahku, sedangkan di sisiku ada dua gadis kecil dari kaum Anshar yang sedang bernyanyi tentang peristiwa Bu’ats. (Aisyah berkata: Keduanya bukan penyanyi profesional). Abu Bakar berkata: 'Apakah seruling setan berada di rumah Rasulullah?' Saat itu adalah hari raya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita'." (HR. Bukhari, 952; Muslim, 892).
Makna Hari Raya dalam Islam
Secara spiritual, hari raya adalah wujud syukur kepada Allah atas penyelesaian ibadah. Secara sosial, hari raya merupakan waktu di mana perbedaan antara si kaya dan si miskin dilebur dalam semangat kasih sayang dan keadilan, yang ditandai dengan zakat dan sedekah. Dalam aspek psikologis, hari raya adalah batas antara ketundukan dalam ibadah dengan kebebasan untuk merayakan dan menikmati kehidupan dengan cara yang diperbolehkan oleh syariat.
Adab dan Etika dalam Merayakan Hari Raya
1. Bergembira dan Bersuka Cita
Hari raya ditetapkan sebagai waktu untuk merayakan kebahagiaan, bukan untuk memperbaharui kesedihan dan duka. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
"Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan kain sementara aku menyaksikan orang-orang Habasyah yang bermain di masjid. Umar pun menegur mereka, namun Nabi berkata: 'Biarkan mereka, wahai Bani Arfidah, bersenang-senanglah dengan aman'." (HR. Bukhari, 988).
Ibnu Hajar menjelaskan: “Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa hari raya adalah hari kegembiraan yang ditetapkan oleh syariat, sehingga hal seperti ini tidak diingkari, sebagaimana halnya dalam pernikahan.” (Fath al-Bari, 2/442).
Ibnu Abidin berkata: "Hari raya dinamakan 'id' karena Allah memberikan berbagai macam kebaikan kepada hamba-hamba-Nya setiap tahunnya, seperti berbuka setelah berpuasa, zakat fitrah, selesainya ibadah haji, penyembelihan hewan kurban, dan lain-lain. Selain itu, karena pada umumnya hari raya dipenuhi dengan kegembiraan, kebahagiaan, dan kebersamaan." (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/165).
Pada hari raya, mereka yang kurang beruntung dapat merasakan kebahagiaan, mereka yang kesulitan memperoleh kelapangan, dan mereka yang berkecukupan menikmati karunia Allah. Hari raya adalah saat di mana jiwa-jiwa yang keras menjadi lembut dalam kebaikan, dan hati-hati yang kaku menjadi terbuka untuk berbagi.
Hari raya adalah kesempatan bagi manusia untuk kembali kepada fitrah, menampilkan emosi dan perasaan sejati mereka dalam suasana kebahagiaan yang penuh makna.
2. Mandi, Berwangi-wangian, dan Berpakaian Indah
Sebagai bentuk ekspresi kebahagiaan pada hari raya, dianjurkan untuk mandi, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian yang indah. Nafi’ meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mandi pada hari Idulfitri sebelum pergi ke tempat salat. (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’, 1/177).
Al-Bazzar berkata: “Saya tidak mengetahui adanya hadis sahih tentang mandi di dua hari raya.” (Lihat: At-Talkhish Al-Habir, 2/81).
Ibnu Abdil Barr menyatakan: “Adapun mandi untuk hari raya, tidak ada hadis yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa dijadikan pegangan.” (At-Tamhid, 10/266).
Namun, diriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mandi pada kedua hari raya. (Al-Muwaththa’, 1/146). Beberapa ulama menyebutkan adanya kesepakatan di kalangan para fuqaha bahwa mandi pada hari raya itu dianjurkan.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Para ulama sepakat bahwa hal ini (mandi pada hari raya) adalah sesuatu yang baik untuk dilakukan.” (Al-Istidzkar, 7/11).
Ibnu Rusyd berkata: “Para ulama sepakat bahwa mandi untuk salat hari raya adalah hal yang baik.” (Bidayat Al-Mujtahid, 1/216).
Demikian pula, berhias dengan pakaian yang bagus dan memakai wewangian dianjurkan menurut mayoritas ulama. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengambil jubah sutra yang dijual di pasar, lalu membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, belilah ini agar engkau bisa memperindah dirimu dengannya di hari raya dan saat menerima delegasi." Maka Rasulullah menjawab: "Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang yang tidak mendapatkan bagian (di akhirat)." (HR. Bukhari, 948).
Ibnu Qudamah berkata: “Hadis ini menunjukkan bahwa berhias pada hari Jumat, hari raya, dan saat menerima delegasi adalah sesuatu yang sudah dikenal luas di kalangan mereka.” (Al-Mughni, 5/257).
Imam Malik berkata: “Aku mendengar para ulama menganjurkan memakai wewangian dan berhias pada setiap hari raya. Dan imam lebih berhak untuk melakukannya karena dialah yang menjadi pusat perhatian di antara mereka.” (Al-Mughni, 5/258).
3. Sunnah-Sunnah di Hari Raya
a) Makan sebelum Salat Idulfitri
Dianjurkan untuk makan sebelum berangkat salat Idulfitri, khususnya dengan kurma dalam jumlah ganjil, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu:
"Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idulfitri sebelum beliau makan beberapa butir kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil." (HR. Bukhari, 953).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jika salah seorang dari kalian mampu untuk tidak berangkat salat Idulfitri sebelum makan, maka lakukanlah.” (HR. Abdurrazzaq, 5734; Ibnu Mundzir, 2111).
b) Menunda Makan Setelah Salat Iduladha
Dianjurkan untuk menunda makan setelah salat Iduladha, sesuai dengan firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah." (QS. Al-Kautsar: 1-2).
c) Menggunakan Jalan yang Berbeda Saat Pergi dan Pulang dari Salat Id
Dianjurkan untuk pergi ke tempat salat melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:
"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berbeda saat pergi dan pulang." (HR. Bukhari, 986).
d) Mengumandangkan Takbir
Disunnahkan untuk memperbanyak takbir pada hari raya.
Al-Walid bin Muslim berkata:
"Aku bertanya kepada Al-Auza’i dan Malik bin Anas tentang mengumandangkan takbir pada hari raya, maka keduanya menjawab: ‘Ya, Abdullah bin Umar biasa mengumandangkannya pada hari Idulfitri hingga imam keluar (untuk salat).’”
Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman As-Sulami:
"Mereka (para sahabat) lebih banyak bertakbir pada Idulfitri dibandingkan Iduladha." (HR. Waki’, Irwa’ Al-Ghalil, 3/122).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu biasa bertakbir dengan lafaz:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa lillahil hamd."
Dalam riwayat lain, beliau bertakbir dengan pengulangan tiga kali. (Lihat: Tamam Al-Minnah, hlm. 356).
Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari menyebutkan:
"Lafaz takbir yang paling sahih adalah yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad sahih dari Salman: ‘Bertakbirlah, Allahu Akbar, Allah, Allahu Akbar Kabiran.’” (Fath Al-Bari, 2/536).
Allahu Akbar! Lafazkanlah tanpa rasa takut, dan hiasi hati dengan maknanya.
Dengan takbir ini, akan berkibar kembali panji-panji kejayaan yang telah kita lupakan bagaimana cara menjaganya.
Allahu Akbar! Betapa indahnya seruan ini, bagai tetesan air yang menghidupkan jiwa.
Dilarang Berpuasa pada Hari Raya
Diharamkan berpuasa pada hari raya, sebagaimana dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari: Hari Idulfitri dan Hari Iduladha." (Muttafaq ‘alaih; HR. Bukhari dan Muslim).
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata:
"Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya berpuasa pada dua hari ini dalam kondisi apa pun, baik itu puasa nazar, puasa sunnah, puasa kafarat, atau puasa lainnya. Jika seseorang dengan sengaja bernazar untuk berpuasa pada hari-hari tersebut, maka menurut Imam Syafi’i dan mayoritas ulama, nazarnya tidak sah dan tidak wajib menggantinya." (Syarh Shahih Muslim, 8/15).
Sebagian ulama berpendapat bahwa alasan diharamkannya puasa pada hari raya adalah karena hal itu menunjukkan ketidakterimaan terhadap hidangan yang Allah sediakan bagi hamba-Nya. (Nail Al-Awthar, 4/262).
4. Ucapan Selamat Hari Raya
Diriwayatkan dari Jubair bin Nufair bahwa para sahabat Nabi ﷺ, ketika bertemu pada hari raya, mereka saling mengucapkan: "Taqabbalallahu minna wa minkum" (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian). Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad hadis ini baik, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar juga menilainya sebagai hadis hasan dalam Fath al-Bari (2/517). Lihat juga Tamam al-Minnah oleh Al-Albani (hlm. 354-356).
Mengucapkan selamat hari raya dapat menumbuhkan kasih sayang di antara kaum Muslimin. Oleh karena itu, disunnahkan untuk pergi ke tempat salat Id melalui satu jalan dan kembali melalui jalan yang lain agar dapat bertemu dan memberi ucapan selamat kepada lebih banyak orang.
5. Mengunjungi Keluarga dan Menjalin Silaturahmi
Mengunjungi keluarga dan menjaga silaturahmi adalah amalan yang dianjurkan setiap waktu, tetapi lebih ditekankan pada hari-hari raya, terutama kepada orang tua. Hal ini karena dapat menghadirkan kebahagiaan bagi mereka, yang merupakan bagian dari bentuk ihsan (kebaikan) yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:
"Dan orang-orang yang menyambung apa yang diperintahkan Allah agar disambung, dan mereka takut kepada Rabb mereka serta khawatir terhadap hisab yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 21)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi."
(HR. Ahmad 3/247 no. 13620, Al-Bukhari 3/73 no. 2067, Muslim 8/8 no. 6615)
Termasuk dalam silaturahmi adalah berbuat baik kepada anak yatim. Allah berfirman:
"Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardiknya. Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah engkau ceritakan."
(QS. Adh-Dhuha: 9-11)
Dari Sahl bin Sa’d, Rasulullah ﷺ bersabda:
"Aku dan orang yang mengasuh anak yatim di surga seperti ini."
Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta merenggangkannya sedikit.
(HR. Ahmad 5/333 no. 23208, Al-Bukhari 7/68 no. 5304)
Diceritakan bahwa seorang sahabat masuk ke dalam masjid dan melihat seorang anak kecil yang sedang salat dengan penuh khusyuk. Setelah selesai salat, sahabat itu bertanya kepadanya, "Anak siapa engkau?" Anak itu menjawab, "Aku yatim." Sahabat itu berkata, "Maukah engkau menjadi anakku?" Anak itu bertanya, "Apakah engkau bisa memberiku makan jika aku lapar?" Sahabat itu menjawab, "Ya." Anak itu bertanya lagi, "Apakah engkau bisa memberiku minum jika aku haus?" Sahabat itu menjawab, "Ya." Anak itu bertanya lagi, "Apakah engkau bisa memberiku pakaian jika aku tidak punya pakaian?" Sahabat itu menjawab, "Ya." Kemudian anak itu bertanya, "Apakah engkau bisa menghidupkanku kembali jika aku mati?" Sahabat itu terkejut dan berkata, "Itu tidak mungkin bagiku!" Maka anak itu berkata, "Kalau begitu, biarkan aku tetap dalam perlindungan Allah yang menciptakan, memberi rezeki, mematikan, dan menghidupkan." Sahabat itu pun pergi sambil berkata, "Demi Allah, siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya."
6. Memberi Kegembiraan kepada Keluarga dalam Hal Makan, Minum, dan Kebahagiaan
Tidak ada larangan untuk memperbanyak makanan, minuman, dan pengeluaran pada hari raya, selama tidak berlebihan. Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dan lainnya:
"Hari-hari Tasyriq adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla."
Diceritakan bahwa seorang laki-laki mendatangi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada hari Idul Fitri dan mendapati beliau makan makanan sederhana. Laki-laki itu pun bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau makan makanan sederhana pada hari raya ini?" Maka Ali berkata, "Ketahuilah, saudaraku, hari raya adalah bagi siapa saja yang puasanya diterima oleh Allah dan dosanya diampuni. Hari ini adalah hari raya bagi kita, besok pun hari raya bagi kita, dan setiap hari yang kita tidak bermaksiat kepada Allah, itu adalah hari raya bagi kita."
Selain itu, dalam Islam dibolehkan bersenang-senang dengan hiburan yang diperbolehkan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad yang sahih bahwa ketika Nabi ﷺ datang ke Madinah, beliau mendapati penduduknya merayakan dua hari tertentu dengan permainan. Maka beliau bersabda:
"Dulu kalian memiliki dua hari untuk bermain-main, tetapi Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha."
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
"Orang-orang Habasyah (Ethiopia) biasa bermain di hadapan Rasulullah ﷺ pada hari raya. Aku melihat mereka dari balik pundaknya. Beliau menundukkan bahunya untukku hingga aku puas melihat mereka, lalu aku pun pergi."
Demikian pula, dalam Islam diperbolehkan menyanyi dengan syair-syair yang baik. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
"Suatu ketika, Rasulullah ﷺ masuk ke rumahku, dan saat itu ada dua anak perempuan yang sedang bernyanyi dengan lagu tentang perang Bu'ats. (Dalam riwayat lain: Mereka bukan penyanyi profesional). Rasulullah ﷺ berbaring di tempat tidur dan membalikkan wajahnya. Kemudian, Abu Bakar masuk dan memarahiku, 'Apakah seruling setan berada di rumah Rasulullah ﷺ?!' Tetapi Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, 'Biarkan mereka, wahai Abu Bakar, karena setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.'”
Dengan demikian, Islam memperbolehkan hiburan yang baik dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama pada hari raya, sehingga suasana hari raya benar-benar menjadi hari kegembiraan bagi seluruh umat Islam.
7. Menjauhi Hiburan yang Haram, Kemungkaran, dan Bid’ah
Hari raya dalam Islam adalah saat penuh ketenangan dan kewibawaan, penghormatan kepada Allah Yang Maha Esa, serta menjauhi hal-hal yang dapat membawa kehancuran dan memasukkan seseorang ke dalam neraka. Lebih dari itu, hari raya adalah kesempatan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan bersaing dalam amal kebajikan.
"Bukanlah hari raya bagi orang yang hanya mengenakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi orang yang bertambah ketaatannya kepada Allah."
"Bukanlah hari raya bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, tetapi hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni."
"Bukanlah hari raya bagi orang yang memiliki harta dan kekayaan, tetapi hari raya adalah bagi orang yang menaati Allah Yang Maha Pengampun."
"Bukanlah hari raya bagi orang yang mengenakan pakaian indah, tetapi hari raya adalah bagi orang yang takut akan ancaman Allah dan bersiap untuk hari pembalasan."
"Bukanlah hari raya bagi orang yang mengenakan pakaian mewah, tetapi hari raya adalah bagi orang yang beramal dan takut akan akhirat."
Diriwayatkan bahwa pada pagi hari Idul Fitri, para malaikat turun ke jalan-jalan dan menyeru: "Wahai umat Muhammad, pergilah menuju Tuhan Yang Maha Pemurah! Dia memberi kebaikan yang banyak dan pahala yang besar. Kalian telah diperintahkan untuk berpuasa, lalu kalian telah melaksanakannya. Kalian diperintahkan untuk shalat malam, lalu kalian melaksanakannya. Maka kembalilah dengan ampunan dari Tuhan kalian." Hari ini disebut di langit sebagai "Hari Hadiah."
Hari raya dalam Islam adalah saat penuh ketenangan, kewibawaan, dan penghormatan kepada Allah, serta menjauhi segala sebab yang membawa kehancuran dan siksaan neraka.
*Bukanlah hari raya bagi pecinta jika hanya menuju tempat shalat,
Menanti khotbah sang imam dan penguasa.
Hari raya sejati adalah saat ia dekat dengan Sang Kekasih,
Menjadi orang yang mulia dan hidup dalam ketenangan.
Imam Anas bin Malik rahimahullah berkata:
*"Seorang mukmin memiliki lima hari raya:
1. Setiap hari yang berlalu tanpa tertulis dosa baginya, maka itu adalah hari raya.
2. Hari ketika ia meninggalkan dunia dalam keadaan beriman, maka itu adalah hari raya.
3. Hari ketika ia melewati jembatan Shirath dan selamat dari kedahsyatan Hari Kiamat, maka itu adalah hari raya.
4. Hari ketika ia memasuki surga, maka itu adalah hari raya.
5. Hari ketika ia melihat Rabb-nya, maka itu adalah hari raya."*
Dikisahkan bahwa Khalifah yang adil, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, pada suatu hari raya melihat putranya, Abdul Malik, mengenakan pakaian yang sederhana dan lusuh. Umar pun menangis. Melihat itu, putranya bertanya, "Wahai Ayah, apa yang membuatmu menangis?" Umar menjawab, "Aku takut hatimu terluka saat engkau keluar bermain dengan anak-anak lain dalam keadaan pakaianmu lusuh." Namun sang anak yang berbakti itu berkata, "Wahai Ayah, hati hanya akan terluka bagi mereka yang bermaksiat kepada Tuhannya dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Aku berharap Allah meridhaiku sebagaimana engkau ridha kepadaku, wahai Ayah." Mendengar itu, Umar pun memeluk putranya, menciumnya di antara kedua matanya, dan mendoakannya. Maka putranya pun menjadi anak yang paling zuhud.
Bid’ah dan Kemungkaran yang Harus Dihindari pada Hari Raya
Terdapat beberapa perbuatan yang harus dijauhi pada hari raya, di antaranya:
1. Meyakini bahwa menghidupkan malam hari raya memiliki keutamaan khusus.
2. Ziarah kubur pada hari raya dengan anggapan bahwa hari itu memiliki keutamaan khusus untuk berziarah.
3. Wanita keluar dengan berhias dan memakai wewangian tanpa menutup aurat.
4. Mendengarkan musik dan lagu-lagu yang diharamkan, serta menggunakan alat musik yang dilarang.
5. Meninggalkan shalat berjamaah dan tidur hingga melewatkan shalat wajib.
6. Menganggap cukup bersilaturahmi hanya dengan mengirim pesan atau menelepon tanpa adanya kunjungan langsung.
Mari kita jadikan hari raya sebagai momen untuk meningkatkan ketaatan, memperbanyak amal kebaikan, menebarkan kasih sayang, serta mempererat hubungan silaturahmi dengan sesama.
diterjemahkan dari web: https://saaid.org/Doat/hamesabadr/162.htm
Posting Komentar untuk "Kegembiraan di Hari Raya | Dr. Badr Abdul Hamid Humaisha"
Santun dalam berkomentar, cermin pribadi anda