Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adab Bergaul dengan Sesama

Adab Bergaul dengan Sesama

Bab Adab Bergaul dengan Teman

Allah Ta'ala berfirman:
الأخلاء يومئذ بعضهم لبعض عدو إلا المتقين
{Pada hari itu, sahabat-sahabat karib sebagian mereka menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa} (Az-Zukhruf: 67).

Memilih Teman dan Sahabat yang Baik

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu 'anhu - bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
(Seseorang itu berada dalam agama temannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian memperhatikan siapa yang ia jadikan teman) (HR. Abu Dawud). Maksudnya adalah bahwa seseorang cenderung mengikuti kebiasaan, cara, dan perilaku temannya, maka hendaknya seseorang memperhatikan dan mempertimbangkan siapa yang ia jadikan teman. Barangsiapa yang ridha dengan agama dan akhlaknya, jadikanlah ia sebagai teman, dan barangsiapa yang tidak, maka jauhilah dia, karena tabiat itu menular (dalam arti, seseorang bisa tertular kebiasaan temannya), sebagaimana disebutkan dalam kitab "Aun al-Ma'bud".

Abu Sa'id al-Khudri - radhiyallahu 'anhu - meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا تصاحب إلا مؤمناً ولا يأكل طعامك إلا تقي
("Jangan berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah ada yang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa") (HR. Abu Dawud).

Larangan dalam persahabatan ini mencakup larangan berteman dengan orang yang melakukan dosa besar dan kefasikan, karena mereka melakukan apa yang diharamkan oleh Allah dan berteman dengan mereka akan merusak agama. Larangan ini juga mencakup larangan berteman dengan orang kafir dan munafik, lebih-lebih lagi. Mengenai sabda Nabi: (Janganlah ada yang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa), Al-Khattabi berkata: "Ini berkaitan dengan makanan dalam undangan, bukan makanan kebutuhan. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: {Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan (yang kafir)}, dan diketahui bahwa para tawanan mereka adalah orang-orang kafir yang bukan mukmin dan bukan orang bertakwa. Namun, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan agar tidak berteman dengan orang yang tidak bertakwa dan melarang bergaul dan makan bersama mereka, karena makan bersama dapat menimbulkan keakraban dan kasih sayang dalam hati."

Teman yang buruk dan sahabat yang buruk pasti mendatangkan bahaya, tidak peduli bagaimana cara untuk menghindarinya, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Musa al-Asy'ari - radhiyallahu 'anhu - meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مثل الجليس الصالح والسوء، كحامل المسك ونافخ الكير، فحامل المسك إما أن يحذيك وإما أن تبتاع منه، وإما أن تجد منه ريحاً طيبة، ونافخ الكير، إما أن يحرق ثيابك وإما أن تجد منه ريحاً خبيثة
"Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api. Pembawa minyak wangi, bisa saja memberimu atau kamu membeli darinya, atau kamu mendapatkan aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup api, bisa saja membakar pakaianmu atau kamu mendapatkan aroma yang tidak sedap darinya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Cinta karena Allah

Tingkatan tertinggi dalam persaudaraan adalah ketika persaudaraan itu dibangun atas dasar cinta karena Allah, bukan untuk mendapatkan kedudukan, keuntungan duniawi, atau materi. Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah dan bersaudara karena Allah, maka dia telah mencapai tujuan yang mulia. Hendaklah dia berhati-hati agar tidak mencampurkan cinta tersebut dengan tujuan-tujuan duniawi yang dapat merusaknya.

Jika cintanya karena Allah, maka dia berhak mendapatkan janji Allah dan keselamatan dari ketakutan pada hari kiamat, serta masuk dalam naungan Arsy Allah yang Maha Agung. Abu Hurairah - radhiyallahu 'anhu - meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إن الله يقول يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لاظل إلا ظلي
"Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: 'Di manakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Ku" (HR. Muslim).

Dari Mu'adz bin Jabal - radhiyallahu 'anhu - dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال الله تبارك وتعالى وجبت محبتي للمتحابين في، والمتجالسين في، والمتزاورين في، والمتباذلين في
"Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: 'Wajiblah cinta-Ku bagi orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, saling duduk bersama karena-Ku, saling mengunjungi karena-Ku, dan saling memberi karena-Ku" (HR. Malik).

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu 'anhu - dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
أن رجلاً زار أخاً له في قرية أخرى فأرصد الله له على مدرجته ملكاً، فلما أتى عليه قال أين تريد ؟ قا: أريد أخاً لي في هذه القرية : قال : هل لك عليه من نعمة تربها () ؟ قال : لا . غير أني أحببته في الله عز وجل قال: فإني رسول الله إليك بأن الله قد أحبك كما أحببته فيه
"Bahwa seorang laki-laki mengunjungi saudaranya di desa lain. Allah mengutus malaikat untuk mengawasinya di perjalanannya. Ketika dia tiba, malaikat itu bertanya: 'Hendak ke mana kamu?' Dia menjawab: 'Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.' Malaikat bertanya lagi: 'Apakah kamu punya urusan atau kepentingan dengannya?' Dia menjawab: 'Tidak, hanya saja aku mencintainya karena Allah.' Malaikat itu berkata: 'Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya'" (HR. Muslim).

Catatan:

Hendaknya seseorang yang mencintai saudaranya karena Allah memberitahukan hal itu kepadanya, karena ini adalah sunnah yang dianjurkan. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan yang lainnya,
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم، فمر به رجل، فقال يا رسول الله: إني لأحب هذا . فقال له النبي صلى الله عليه وسلم : أعلمته ؟ قال : لا . قال: أعلمه . فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الله الذي أحببتني له ( وعند أحمد: ( قال : قم فأخبره تثبت المودة بينكما. فقام إليه قد فأخبره، فقال: أني أحبك في الله أو قال أحبك الله . فقال الرجل: أحبك الله الذي أحببتني فيه
bahwa seorang laki-laki sedang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu seorang lelaki lain lewat di depannya. Dia berkata: "Wahai Rasulullah, aku mencintai orang ini." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Apakah kamu sudah memberitahukannya?" Dia menjawab: "Belum." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Beritahukanlah kepadanya." Maka dia pergi dan berkata: "Aku mencintaimu karena Allah." Lelaki itu menjawab: "Semoga Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku karena-Nya." Dalam riwayat Ahmad disebutkan: "Nabi berkata: 'Pergilah dan beritahu dia agar memperkuat persahabatan antara kalian.'"

Catatan 2:

Selain itu, hendaknya orang-orang yang saling mencintai karena Allah, sesekali memeriksa diri dan hati mereka, untuk memastikan apakah cinta mereka tetap murni karena Allah atau ada sesuatu yang mengganggu dan merusaknya. Karena cinta pada awalnya murni karena Allah, namun jika diabaikan, bisa berubah menjadi persaudaraan yang berdasarkan saling tukar-menukar manfaat. Bahkan, dalam beberapa kasus bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti cinta yang berlebihan dan nafsu. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang terlalu dekat dengan anak muda atau wanita yang seharusnya dijaga batasannya dalam berinteraksi.

Keceriaan, Kelembutan, dan Kasih Sayang terhadap Saudara

Salah satu adab yang paling sederhana ketika bertemu dengan saudara adalah dengan menunjukkan wajah yang ceria dan senyuman. Ini merupakan bentuk kebaikan dan adab yang seharusnya ada antara seorang saudara dengan saudaranya. Setiap kali bertemu atau melihat saudaranya, ia harus menyambutnya dengan ceria dan ramah.

Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا تحقرن من المعروف شيئاً ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق
"Jangan meremehkan sedikit pun dari kebaikan, meskipun hanya dengan bertemu saudaramu dengan wajah yang ceria" (HR. Muslim). Dalam riwayat lain dari Jabir radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:
كل معروف صدقة وإن من المعروف أن تلقى أخاك بوجه طلق
"Setiap perbuatan baik adalah sedekah, dan salah satu bentuk kebaikan adalah bertemu saudaramu dengan wajah yang ceria" (HR. Bukhari).

Kelembutan, keramahan, dan kasih sayang merupakan hal-hal yang memperkuat ikatan persaudaraan dan memperdalam hubungan di antara mereka. Allah mencintai kelembutan dalam segala urusan, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
الله يحب الرفق في الأمر كله وهو سبحانه رفيق يحب الرفق ويعطي على الرفق ما لا يعطي على العنف وما لا يعطي على ما سواه
"Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan. Dia memberikan kelembutan yang tidak Dia berikan pada kekerasan atau yang lainnya" (HR. Muslim). Oleh karena itu, saudara seiman seharusnya saling memperlakukan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حرم على النار كل هين لين سهل قريب من الناس
"Diharamkan masuk neraka bagi setiap orang yang bersikap lembut, santun, mudah, dan dekat dengan orang lain" (HR. Ahmad).

Salah satu hal yang dapat membantu menjaga cinta kasih dan menghilangkan kebencian dari hati adalah saling memberi hadiah di antara saudara. Malik meriwayatkan dalam "Al-Muwaththa'" bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تصافحوا يذهب الغل، وتهادوا تحابوا وتذهب الشحناء
"Berjabat tanganlah kalian, maka akan hilang kebencian, dan saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai dan hilanglah permusuhan" (HR. Malik).

Seseorang telah berkata dengan baik dalam sebuah syair:
هدايا الناس بعضهم لبعض
وتزرع في الضمير هوى وودا
تولد في قلوبهم الوصالا
وتكسوهم إذا حضروا جمالا
"Hadiah dari seseorang kepada orang lain menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang di dalam hati, mempererat hubungan di antara mereka, dan memberi keindahan saat mereka hadir."

Disunnahkan Memberikan Nasihat sebagai Penyempurna Persaudaraan

Nasihat merupakan tuntutan syar'i yang dianjurkan oleh syariat. Hal ini adalah salah satu perkara yang dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaiat para sahabatnya untuk melakukannya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu:
بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم
"Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap Muslim" (HR. Bukhari dan Muslim).

Penggabungan nasihat dengan shalat dan zakat yang merupakan rukun Islam menunjukkan betapa pentingnya nasihat dan kedudukan yang tinggi dalam agama. Dalam hadis lain, Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الدين النصيحة
"Agama adalah nasihat." Kami bertanya: "Untuk siapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan untuk kaum Muslimin secara umum" (HR. Muslim). Sabda beliau: "Agama adalah nasihat" menunjukkan bahwa nasihat merupakan bagian terbaik dan terlengkap dari agama.

Ibnu Al-Jawzi berkata:
اعلم أن النصيحة الله عز وجل المناضلة عن دينه والمدافعة عن الإشراك به وإن كان غنياً عن ذلك، ولكن نفعه عائد على العبد، وكذلك النصح لكتابه الذب عنه والمحافظة على تلاوته، والنصيحة لرسوله إقامة سنته والدعاء إلى دعوته، والنصيحة لأئمة المسلمين طاعتهم، والجهاد معهم والمحافظة على بيعتهم، وإهداء النصائح إليهم دون المدائح التي تغر، والنصيحة العامة المسلمين إرادة الخير لهم، ويدخل في ذلك تعليمهم وتعريفهم اللازم، وهدايتهم إلى الحق
"Ketahuilah bahwa nasihat untuk Allah adalah dengan membela agama-Nya dan melawan segala bentuk kesyirikan, meskipun Allah Maha Kaya dari itu semua, namun manfaatnya akan kembali kepada hamba. Demikian pula nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan menjaga, membela, dan terus membacanya. Nasihat untuk Rasul-Nya adalah dengan menegakkan sunnahnya dan mengajak manusia untuk mengikuti dakwahnya. Nasihat untuk para pemimpin kaum Muslimin adalah dengan menaati mereka, berjihad bersama mereka, menjaga baiat kepada mereka, dan memberikan nasihat yang jujur kepada mereka tanpa memberikan pujian yang menipu. Sedangkan nasihat untuk kaum Muslimin secara umum adalah dengan menginginkan kebaikan bagi mereka, yang mencakup mengajarkan mereka hal-hal yang wajib, membimbing mereka kepada kebenaran."
Oleh karena itu, nasihat kepada saudara-saudara seiman adalah dengan menginginkan kebaikan untuk mereka, menjelaskan kebenaran kepada mereka, dan menunjukkan jalan yang benar. Hal ini juga mencakup untuk tidak menipu atau bersikap basa-basi dalam urusan agama, serta mengingatkan mereka untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran, meskipun hal itu bertentangan dengan keinginan atau kebiasaan mereka.

Namun, mengikuti keinginan mereka atau bersikap basa-basi dalam urusan agama atas nama persaudaraan, hanya agar mereka tidak menjauh atau merasa terganggu, bukanlah nasihat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Benar, kebijaksanaan sangat diperlukan ketika menyampaikan nasihat, namun kebenaran harus tetap dijelaskan dan disampaikan, terutama ketika berhadapan dengan saudara-saudara seiman yang kita mampu untuk menasihati mereka.

Kerjasama Antar Saudara

Kerjasama antara saudara seiman merupakan salah satu bentuk persaudaraan yang dianjurkan dalam Islam. Kita memiliki teladan yang sangat mulia dalam hal ini, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kewajiban sebagai utusan Allah tidak menghalangi beliau untuk turut serta membantu dan bekerjasama dengan para sahabatnya. Salah satu contoh yang sangat terkenal adalah partisipasi beliau dalam pembangunan masjid di Madinah.

Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa para sahabat mengangkut batu-batu besar sambil bersenandung, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersama mereka sambil beliau bersenandung:
"Ya Allah, tiada kebaikan selain kebaikan akhirat, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." (HR. Bukhari)

Demikian juga ketika menggali parit pada Perang Khandaq, Jabir radhiyallahu 'anhu meriwayatkan: "Pada hari Khandaq, kami sedang menggali parit, dan tiba-tiba kami menemukan tanah keras yang sulit untuk digali. Mereka mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, 'Kami menemukan tanah keras di parit ini.' Lalu Nabi berkata, 'Aku akan turun.' Perut beliau diikat dengan batu karena sudah tiga hari kami tidak makan. Beliau mengambil cangkul dan memukul tanah tersebut hingga hancur menjadi debu..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis lain, dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً وشبك بين أصابعه
"Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lain," kemudian beliau menyilangkan jari-jarinya (untuk menunjukkan bagaimana mereka saling mendukung satu sama lain) (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudara seiman saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, mereka harus saling membantu dalam memenuhi kebutuhan yang kurang, memberikan dukungan yang baik untuk menolong yang membutuhkan, atau dalam berbagai bentuk kerjasama lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
"Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong saudaranya" (HR. Muslim).

Kerendahan Hati Antara Saudara dan Menghindari Kesombongan atau Keangkuhan

Kerendahan hati dan kelembutan dalam bersikap terhadap sesama saudara seiman adalah kunci untuk mempererat persaudaraan dan memperkuat ikatan antara mereka. Sebaliknya, kesombongan, keangkuhan, atau kebanggaan berlebihan dapat menjadi penyebab perpecahan dan melemahkan ikatan persaudaraan. Kerendahan hati adalah sifat yang diperintahkan dan dianjurkan, sementara kebanggaan dan kesombongan adalah sifat yang dilarang dan tercela.

Dari Iyadh bin Himar radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إن الله أوحى إلى أن تواضعوا حتى لا يفخر أحد على أحد ولا يبغ أحد على أحد
"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di atas yang lain, dan tidak ada seorang pun yang berlaku sewenang-wenang kepada yang lain" (HR. Muslim). Kesombongan dan keangkuhan adalah jalan menuju ketidakadilan, permusuhan, dan tindakan melampaui batas.

Tidak diragukan bahwa manusia memiliki perbedaan dalam hal keturunan, status sosial, dan kekayaan. Ini adalah sunnatullah dalam penciptaan-Nya. Namun, tidak ada seorang pun yang menjadi mulia karena usahanya sendiri, begitu pula tidak ada yang menjadi hina karena keinginannya sendiri. Baik kemuliaan, kehormatan, kemiskinan, maupun kekayaan, semuanya adalah bagian dari takdir Allah. Dengan demikian, perbedaan ini tidak boleh menjadi alasan bagi seseorang untuk merasa lebih tinggi dari yang lain atau membanggakan diri atas orang lain.

Sebaliknya, ketika seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, harta, atau kehormatan bersikap rendah hati karena Allah, bersikap lembut dan mudah bergaul dengan saudaranya, maka hal itu akan menjadikannya lebih mulia di sisi Allah dan diterima dengan baik di kalangan manusia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وما تواضع أحد لله إلا رفعه
"Tidaklah seseorang bersikap rendah hati karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya" (HR. Muslim).

Akhlak yang Baik

Memiliki akhlak yang baik adalah anugerah besar yang Allah berikan kepada seseorang. Siapa pun yang dikenal karena akhlaknya yang mulia, akan dihormati di tengah masyarakat, namanya akan dikenang dengan baik, dan kedudukannya akan dihargai. Akhlak yang baik mencakup sikap wajah yang ramah, kemampuan menahan diri dari gangguan, menahan amarah, dan berbagai sifat terpuji lainnya.

Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang makna akhlak yang baik, beliau menjawab:
أن لا تغضب ولا تحمد
"Yaitu tidak mudah marah dan tidak merasa bangga dengan diri sendiri." Isḥāq bin Rāhūyah menambahkan bahwa akhlak yang baik adalah
بسط الوجه وأن لا تغضب ونحو ذلك
wajah yang berseri-seri dan tidak mudah marah. Hal ini juga disebutkan oleh al-Khallāl dalam penjelasannya.

Diriwayatkan dari al-Khallāl bahwa Salām bin Muṭabbaʿ menggambarkan akhlak yang baik dengan bait puisi berikut: Ketika kau datang kepadanya, kau akan melihatnya tersenyum lebar, Seakan-akan kau memberinya apa yang kau minta darinya.

Manusia terbaik adalah mereka yang paling baik akhlaknya, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yang merupakan manusia dengan akhlak terbaik:
خياركم أحسنكم أخلاقا
"Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya" (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga sering berdoa dalam shalatnya:
واهدني الأحسن الأخلاق لا يهدي لأحسنها إلا أنت، واصرف عني سيئها لا يصرف عني سيئها إلا أنت
"Ya Allah, tuntunlah aku untuk memiliki akhlak yang terbaik, karena tidak ada yang bisa menuntun ke arah yang terbaik selain Engkau. Jauhkanlah aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang bisa menjauhkan darinya selain Engkau." (HR. Muslim)

Orang yang memiliki akhlak yang baik akan dicintai oleh banyak orang. Mereka akan senang duduk bersamanya, menikmati percakapannya, dan merasakan kenyamanan dalam kebersamaan dengannya. Sebaliknya, orang yang berakhlak buruk akan dijauhi, orang enggan berada di dekatnya, dan ia akan menjadi sosok yang dibenci.

Fudhail bin Iyadh pernah berkata:
من ساء خلقه ساء دينه وحسبه ومودته
"Barangsiapa yang buruk akhlaknya, maka buruk pula agamanya, martabatnya, dan cintanya di mata orang lain." Akhlak yang baik sangat berperan dalam menjaga hubungan persaudaraan. Dengan akhlak yang baik, hubungan akan tetap terjalin, hati akan menyatu, dan rasa benci akan hilang dari dada. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk menunjukkan wajah yang ramah kepada saudara-saudaranya, memilih kata-kata yang baik dalam berbicara, menutupi kesalahan-kesalahan kecil mereka, dan mencari alasan untuk memaafkan mereka.

Ketulusan Hati

Rasulullah ﷺ dalam doanya sering memohon kepada Allah agar hati beliau dibersihkan dari segala dendam dan kebencian, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadis:
واسلل سخيمة صدري
"Dan cabutlah (segala) kedengkian dari dalam hatiku" (HR. Tirmidzi). Ini adalah sifat yang sangat mulia dan jarang dimiliki oleh banyak orang karena sangat sulit bagi seseorang untuk melepaskan ego dan kepentingan pribadinya serta mengalah demi orang lain. Terlebih lagi, ketika seseorang mengalami ketidakadilan atau perlakuan buruk dari orang lain, sulit untuk tidak membalas dengan kebencian atau dendam.

Namun, jika seseorang mampu menanggapi keburukan dan ketidakadilan dari orang lain dengan hati yang tulus dan tanpa dendam, maka ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam akhlak mulia dan sifat terpuji. Ini adalah karakter yang langka di antara manusia, tetapi menjadi mudah bagi mereka yang diberikan kemudahan oleh Allah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
المؤمن غر كريم، والفاجر حب لتيم
"Orang beriman itu bersifat polos dan dermawan, sementara orang fasik itu licik dan jahat." (HR. Tirmidzi). Imam al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa sifat orang beriman yang disebut "polos dan dermawan" adalah bahwa ia tidak memiliki tipu muslihat, ia mudah tertipu karena sifatnya yang lembut dan baik hati. Sifat ini berlawanan dengan karakter orang yang penuh kebencian. Orang beriman tidak banyak mencari keburukan orang lain, bukan karena ia bodoh, tetapi karena kemurahan hati dan akhlaknya yang baik.

Sedangkan orang fasik, seperti yang disebutkan dalam hadis, adalah "licik dan jahat," yaitu ia kikir, keras kepala, dan memiliki akhlak yang buruk.

Ketulusan hati adalah salah satu ciri utama seorang mukmin sejati. Ketika seseorang mampu menjaga hatinya tetap bersih dari dendam, kebencian, dan prasangka buruk, maka ia akan meraih kedamaian batin dan keridhaan Allah. Ini adalah sifat yang harus diupayakan oleh setiap orang agar hubungan antar sesama tetap harmonis dan dipenuhi oleh kasih sayang.

Berprasangka Baik kepada Saudara dan Tidak Memata-matai Mereka

Salah satu bentuk akhlak mulia dalam bergaul dengan saudara-saudara adalah dengan selalu berprasangka baik terhadap mereka, serta berusaha menafsirkan perkataan dan tindakan mereka dengan cara yang paling positif. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan kita tentang bahaya berprasangka buruk dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau bersabda:
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث، ولا تحسسوا ولا تجسسوا
"Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dustanya perkataan, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan dan memata-matai..." (HR. Bukhari dan Muslim).

Yang dimaksud dengan larangan prasangka di sini adalah larangan terhadap prasangka buruk yang tidak beralasan. Imam al-Khattabi menjelaskan bahwa yang dilarang adalah menguatkan dan mempercayai prasangka buruk tanpa dasar, bukan sekadar perasaan negatif yang mungkin muncul dalam hati tanpa disengaja, karena perasaan seperti itu tidak dapat dikendalikan. Prasangka buruk yang dilarang adalah yang terus dipelihara dan diyakini kebenarannya dalam hati. Sebaliknya, jika prasangka tersebut hanya sekilas muncul dalam hati dan tidak terus dipikirkan, maka hal itu tidak dianggap dosa.

Imam al-Nawawi menambahkan bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam hadis tersebut adalah prasangka buruk yang tidak berdasar, seperti mencurigai seseorang melakukan dosa besar tanpa adanya bukti atau tanda yang jelas. Hal ini sering kali diikuti dengan tindakan mencari tahu dan memata-matai, yang juga dilarang.

Al-Qur’an pun menegaskan larangan ini dalam surah Al-Hujurat ayat 12:
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain..." Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga kehormatan saudara sesama Muslim dengan cara tidak berprasangka buruk terhadap mereka, serta tidak mencari-cari kesalahan mereka.

Di antara manfaat dari berprasangka baik adalah kita akan selalu menafsirkan perkataan dan tindakan saudara kita dengan cara yang terbaik. Jika kita mendengar sesuatu yang tidak kita sukai, kita seharusnya berusaha mencari alasan atau penjelasan yang baik untuk mereka, seperti dengan mengatakan, "Mungkin maksudnya begini," atau "Mungkin ada alasan tertentu yang belum kita ketahui."

Dengan demikian, kita dapat menjaga hubungan baik dan menghindari konflik yang disebabkan oleh prasangka buruk dan pencarian kesalahan pada orang lain. Berprasangka baik juga membantu kita untuk hidup lebih tenang dan damai, karena hati kita tidak dipenuhi oleh kecurigaan dan kebencian yang tidak berdasar.

Memaafkan Kesalahan dan Menahan Amarah

Dalam interaksi dan pergaulan sehari-hari, tidak jarang kita mengalami situasi di mana terjadi kesalahan, kekeliruan, atau ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang terhadap kita. Dalam Islam, dianjurkan bagi mereka yang dizalimi untuk menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang yang menzaliminya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
والذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش وإذا ما غضبوا هم يغفرون
"Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf" (QS. Asy-Syura: 37). Dan firman-Nya lagi: "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan" (QS. Ali Imran: 134).

Ayat ini mengajarkan bahwa ketika seseorang merasa sakit hati atau terluka oleh perbuatan orang lain, yang memunculkan kemarahan di dalam hatinya, mereka yang berakhlak mulia tidak mengikuti dorongan amarah tersebut, tetapi menahan amarahnya dan memaafkan orang yang bersalah. Memaafkan adalah langkah yang lebih tinggi daripada menahan amarah, karena memaafkan berarti tidak hanya menahan diri dari membalas dendam, tetapi juga memberi maaf dengan kelapangan hati kepada orang yang bersalah.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
من كظم غيظاً وهو يستطيع أن ينفذه دعاه الله على رءوس الخلائق حتى يخيره الله في أي الحور العين شاء
"Barang siapa menahan amarah padahal dia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat dan memberinya kebebasan untuk memilih bidadari yang dia inginkan" (HR. Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa menahan amarah adalah sebuah kebajikan yang besar dan pahalanya amatlah besar di sisi Allah SWT.

Memaafkan bukanlah tanda kelemahan atau kekurangan, melainkan sebuah kekuatan dan kemuliaan. Rasulullah ﷺ bersabda:
ما نقصت صدقة من مال، وما زاد الله عبداً بعفو إلا عزاً، وما تواضع أحد لله إلا رفعه
"Sedekah tidak akan mengurangi harta, dan Allah tidak akan menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya" (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا عفا رجل عن مظلمة إلا زاده الله عزاً
"Tidaklah seseorang memaafkan orang lain atas suatu kezaliman kecuali Allah akan menambah kemuliaan baginya" (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, di antara saudara seiman, penting untuk saling memaafkan dan mengabaikan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin terjadi. Ketika hal ini dilakukan, hati akan menjadi bersih, hubungan menjadi lebih harmonis, dan hidup dalam suasana yang damai dan penuh kasih sayang.

Sebagai penutup, terdapat sebuah hikmah indah yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma, cucu Rasulullah ﷺ, yang berkata:
لو أن رجلاً شتمني في أذني هذه، واعتذر في الأخرى، لقبلت عذره ما يعلم كذبه
"Jika ada seseorang yang mencaci maki diriku di telinga ini, kemudian ia datang meminta maaf di telinga lainnya, aku akan menerima maafnya meskipun aku tahu ia berdusta." Ini menunjukkan betapa pentingnya memaafkan dan melupakan kesalahan, demi menjaga hati yang bersih dan hubungan yang baik.

Larangan Saling Hasad, Membenci, dan Menghindar

Rasulullah ﷺ bersabda:
لا تباغضوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا (1) وكونوا عباد الله إخواناً، ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام
"Jangan saling membenci, jangan saling hasad, dan jangan saling menghindar (dari satu sama lain). Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini, terdapat larangan terhadap saling hasad (iri hati), saling membenci, dan saling menghindar.

Jenis Hasad

Ada dua jenis hasad: hasad yang terpuji dan hasad yang tercela. Hasad yang tercela adalah menginginkan agar nikmat yang dimiliki orang lain hilang. Ini adalah bentuk ketidakadilan dan permusuhan. Sementara hasad yang terpuji adalah ghibṭah, yaitu menginginkan agar kita memiliki nikmat yang sama dengan orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang dari orang lain. Ghibṭah adalah perasaan positif dan bukan bentuk kecemburuan yang buruk.

Larangan Membenci dan Menghindar

Membenci adalah kebalikan dari saling mencintai, dan menghindar (tadābur) adalah bentuk menjauh dari hubungan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menghindari saudaranya lebih dari tiga hari." (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks ini, terdapat dua jenis penghindaran:

1. Penghindaran karena hobi pribadi: Ini tidak boleh berlangsung lebih dari tiga hari. Hal ini dikarenakan sifat manusia seringkali emosional, dan tiga hari dianggap cukup untuk meredakan kemarahan dan emosi negatif.

2. Penghindaran karena hak Allah: Misalnya, untuk menegur atau memberi peringatan kepada seseorang yang melakukan kesalahan besar. Ini tidak dibatasi oleh waktu; penghindaran hanya berlangsung sampai tujuan atau hasil dari penghindaran tercapai.

Hadis tentang Penghindaran

Rasulullah ﷺ bersabda:
تفتح أبواب الجنة يوم الأثنين ويوم الخميس، فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئاً، إلا رجلاً كانت بينه وبين أخيه شحناء، فيقال أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا
"Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, dan setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu akan diampuni, kecuali orang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan: 'Tunggu kedua orang ini sampai mereka berdamai.'" (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Hikmah dari Penghindaran

Penghindaran yang dilakukan untuk menegur atau memberi peringatan harus dilakukan dengan niat yang benar dan dalam batas yang bijaksana. Jika penghindaran tersebut tidak mendatangkan manfaat dan hanya memperburuk keadaan, maka tidak disarankan untuk diteruskan. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, ada kalanya penghindaran bermanfaat sebagai bentuk teguran, namun dalam situasi tertentu, pendekatan lain mungkin lebih efektif.

Secara umum, Islam memberikan batasan bahwa penghindaran hanya boleh berlangsung selama tiga hari jika didasarkan pada kepentingan pribadi. Tujuannya adalah untuk mengatasi emosi dan memperbaiki hubungan, dan bukan untuk memperpanjang ketegangan.

Kesimpulan

Menjaga hubungan baik dengan saudara seiman adalah hal yang sangat penting dalam Islam. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk menjauhi perasaan hasad, kebencian, dan penghindaran yang tidak produktif. Sebaliknya, hendaklah kita saling mencintai, memaafkan, dan menjalin hubungan yang harmonis.

Larangan Menggunakan Julukan yang Menyakitkan

Salah satu kebiasaan buruk yang dapat menimbulkan dosa, merusak hubungan, dan menyebabkan perpecahan di antara saudara-saudara adalah penggunaan julukan yang merendahkan. Memberikan julukan yang menyakitkan atau mengejek kepada orang lain merupakan perbuatan yang sangat tercela dan dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

"Janganlah kalian saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. Seburuk-buruk nama ialah kefasikan setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" (QS. Al-Hujurat: 11).

Nabi Muhammad ﷺ juga melarang penggunaan julukan yang menyakitkan. Abu Ja'birah bin Al-Duhaak رضي الله عنه berkata bahwa ayat ini diturunkan mengenai Bani Salamah. Ketika Rasulullah ﷺ datang ke kami, tidak ada seorang pun dari kami kecuali memiliki satu atau dua nama julukan. Rasulullah ﷺ sering memanggil seseorang dengan julukan yang membuat mereka marah. Maka diturunkan ayat ini untuk melarang penggunaan julukan yang menyakitkan: "Janganlah kalian saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk" (HR. Muslim).

Secara umum, perilaku ini sering terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini merupakan bentuk penyerangan verbal dan salah satu bahaya dari lisan. Oleh karena itu, seseorang yang selamat dari dosa adalah mereka yang menjaga lisannya dan tidak menyakiti kehormatan orang lain. Semoga Allah melindungi kita semua dari bahaya lisan dan dosa-dosanya.

Keutamaan Memperbaiki Hubungan di Antara Saudara

Tak dapat dipungkiri bahwa terkadang terdapat perselisihan dan konflik di antara saudara-saudara, yang bisa menimbulkan rasa kebencian dan dendam. Orang yang paling beruntung adalah mereka yang dijadikan oleh Allah sebagai pendamai di antara orang-orang yang berselisih. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tahukah kalian sesuatu yang lebih baik daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah?" Mereka menjawab: "Ya." Rasulullah ﷺ berkata: "Memperbaiki hubungan di antara saudara-saudara" (HR. Muslim). "Kerusakan hubungan di antara mereka adalah pemangkas" (HR. Abu Dawud).

Syariat Islam sangat mementingkan persatuan dan kesatuan di antara umat, serta menjaga hati agar tetap bersih. Islam melarang adanya perselisihan, perpecahan, dan perasaan saling menjauh. Untuk itu, ada keringanan bagi pendamai untuk mengatakan hal-hal yang tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam konteks memperbaiki hubungan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Bukanlah pembohong yang memperbaiki hubungan di antara orang-orang dengan mengatakan hal-hal baik atau menambahkan sesuatu yang baik" (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendamaian antara sesama adalah amal yang sangat dianjurkan, dan mereka yang berusaha memperbaiki hubungan di antara manusia akan mendapatkan pahala dari Allah. Rasulullah ﷺ juga bersabda:

"Setiap salam yang kamu ucapkan kepada manusia adalah sedekah. Setiap hari matahari terbit, menegakkan keadilan di antara dua orang adalah sedekah" (HR. Bukhari).

Orang-orang yang bijak seharusnya menjadi pelopor dalam memperbaiki hubungan di antara orang-orang. Mereka tidak seharusnya menjauh dari tugas mulia ini setelah mengetahui besarnya pahala yang didapatkan.

Pengharaman Menyebut Kebaikan (Al-Mann) dan Dampaknya

Seringkali di antara saudara-saudara ada interaksi berupa hadiah dan pemberian. Ini adalah bagian dari akhlak baik dan memperkuat hubungan di antara mereka. Namun, ada kalanya jiwa yang lemah mulai menunjukkan sikap menyebut kebaikan atau menyanjung diri sendiri setelah memberikan sesuatu, baik karena sifat sombong atau rasa puas diri.

Menurut Al-Qurtubi, biasanya sikap menyebut kebaikan ini muncul dari orang yang pelit atau sombong. Orang yang pelit cenderung merasa besar atas apa yang diberikan, meskipun nilainya kecil, sementara orang yang sombong merasa bahwa dirinya lebih mulia dan berhak mendapatkan pujian atas pemberian tersebut. Menyebut kebaikan dalam Islam adalah sesuatu yang terlarang dan sangat dicela. Al-Mann dianggap sebagai dosa besar menurut beberapa ulama.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

"Orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah kemudian tidak diikuti dengan mengingat-ingat (dengan menyebut-nyebut kebaikan) dan tidak menyakiti (perasaan orang yang menerima)..." (QS. Al-Baqarah: 262).

Rasulullah ﷺ juga bersabda mengenai orang-orang yang menyebut kebaikannya di hari kiamat:

"Ada tiga orang yang tidak akan Dia ajak bicara, tidak akan Dia lihat, dan tidak akan Dia sucikan, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. Rasulullah ﷺ mengulanginya tiga kali. Abu Dzar bertanya: Siapa mereka, wahai Rasulullah? Rasulullah ﷺ menjawab: Orang yang mengulur-ulur pakaian, orang yang menyebut kebaikan (menyanjung dirinya), dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu" (HR. Muslim).

Juga, dari Abdullah bin Amr رضي الله عنهما, Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang menyebut kebaikannya, orang yang durhaka kepada orang tua, dan peminum khamar" (HR. Bukhari dan Muslim).

Menyebut-nyebut kebaikan atau merasa diri lebih tinggi akibat pemberian adalah perilaku yang sangat dilarang dan merusak hubungan antar sesama.

Menjaga Rahasia dan Larangan Mengungkapkannya

Menjaga rahasia adalah bagian penting dari amanah dan etika. Mengungkapkan rahasia yang diberikan kepada seseorang adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan merupakan salah satu ciri orang munafik.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Tanda-tanda seorang munafik ada tiga: ketika dia berbicara dia berdusta, ketika dia berjanji dia ingkar, dan ketika dia dipercaya dia mengkhianati" (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah ﷺ juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga rahasia. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:

"Jika seseorang menyampaikan sesuatu kepadamu lalu dia melihat ke sekelilingnya, maka itu adalah amanah. Dan jika seseorang melihat ke sekelilingnya saat berbicara, itu juga merupakan amanah" (HR. Ahmad).

Dalam konteks ini, menjaga rahasia berarti tidak membocorkan informasi yang diminta untuk tidak diungkapkan kepada orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga privasi dan amanah dalam Islam.

Contoh dari praktik ini dapat ditemukan dalam kisah Anas bin Malik رضي الله عنه. Ia bercerita bahwa saat Rasulullah ﷺ memberinya tugas yang bersifat rahasia, ibunya, Ummu Sulaim, bertanya mengenai apa yang diminta oleh Rasulullah ﷺ. Anas menjawab bahwa itu adalah rahasia dan tidak memberitahukannya kepada ibunya. Anas berkata:

"Demi Allah, seandainya aku hendak menceritakannya kepada seseorang, tentu aku akan menceritakannya kepada engkau, wahai Thabit" (HR. Bukhari).

Kisah ini menegaskan bahwa menjaga rahasia adalah tindakan yang sangat dihargai dan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

Mencela Orang yang Bermuka Dua

Orang yang bermuka dua adalah orang yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

"Sesungguhnya orang yang paling buruk di antara manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah orang yang bermuka dua, yaitu orang yang datang kepada kelompok ini dengan satu wajah dan kepada kelompok itu dengan wajah lain" (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Al-Qurtubi, orang yang bermuka dua adalah orang yang paling buruk karena ia hidup dalam kebohongan dan kemunafikan, serta dapat menyebabkan kerusakan dan perselisihan di antara orang-orang. Sifat ini serupa dengan kemunafikan karena melibatkan kepalsuan, penipuan, dan manipulasi.

Sementara itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa orang yang bermuka dua adalah orang yang berpura-pura menyenangkan setiap kelompok dengan mengatakan apa yang mereka ingin dengar, sementara sebenarnya ia tidak jujur. Tindakan ini mencerminkan kemunafikan yang murni, kebohongan, dan manipulasi. Namun, ada perbedaan antara orang yang bermuka dua dengan tujuan jahat dan orang yang mencoba memperbaiki hubungan antara dua kelompok. Perbedaannya adalah:

Orang yang Bermuka Dua dengan Niat Jahat: Ia mencoba menyenangkan setiap kelompok dengan membicarakan keburukan kelompok lain, dan menyanjung kelompoknya sendiri. Ini termasuk kemunafikan dan pembohongan yang merusak persatuan dan kepercayaan.

Orang yang Bermuka Dua dengan Niat Baik: Ia berusaha mendamaikan dua kelompok dengan cara berbicara yang baik dan membantu masing-masing kelompok untuk memahami dan menerima satu sama lain. Ini termasuk usaha yang terpuji jika dilakukan dengan niat baik untuk memperbaiki hubungan dan menghilangkan kesalahpahaman, bukan untuk menipu atau merusak.

Dengan demikian, penting untuk membedakan antara upaya untuk memperbaiki hubungan dan tindakan bermuka dua yang merugikan, serta memastikan bahwa niat dan tindakan kita selalu untuk kebaikan dan perbaikan hubungan di antara sesama.

Kitab Al Adab Karya Syaikh Fuad Shulhub
Diterjemahkan oleh: Sirajul Yani, M.H

Post a Comment for "Adab Bergaul dengan Sesama"