Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Golongan Yang Dapat Keringan Tidak Berpuasa

Golongan Yang Dapat Rukhsoh/Keringan Tidak Berpuasa

Adanya golongan yang diberikan rukhsoh/keringan untuk tidak berpuasa, ini menunjukkan bahwasanya Islam merupakan agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan.

Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, di antaranya:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 185)

Nabi bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرُ
"Sesungguhnya agama ini mudah." (HR. Bukhari No. 39).

Masih banyak dalil-dalil lainnya lagi. Imam asy-Syathibi mengatakan: "Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti." (Al-Muwafaqat 1/520).

Perlu diketahui bahwa kemudahan dalam Islam terbagi menjadi dua macam:

1. Kemudahan asli

Syari'at dan hukum Islam semuanya adalah mudah. Inilah yang biasa dimaksud dalam banyak dalil. Imam Ibnu Hazm berkata: "Semua perintah Allah kepada kita adalah mudah dan tidak berat. Dan tidak ada kemudahan yang lebih daripada sesuatu yang mengantarkan manusia menuju surga dan menjauhkan mereka dari neraka.» (Al-Ihkam 2/176).

2. Kemudahan karena ada sebab

Syari'at semuanya pada asalnya mudah. Sekalipun demikian, bila ada sebab maka Allah menambah kemudahan lagi, seperti orang safar diberikan keringanan untuk qashar dan jama', orang tidak bisa berwudhu diberi keringanan untuk tayammum, dan seterusnya.

Di antara praktik kaidah ini adalah pada pembahasan puasa. Di dalamnya terdapat kemudahan asli karena Allah mewajibkan puasa Ramadhan hanya sebulan dalam setahun, dan adanya kemudahan/keringanan bila ada sebab seperti sakit, safar, dan lainnya.

Allah mewajibkan puasa Ramadhan dan Dia memberi kemudahan pula. Allah tidak membebankan kecuali sesuai dengan kemampuan para hamba-Nya. Kemudahan ini adalah keutamaan dari Allah. Firman-Nya:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 185).

Maka, yang mendapatkan rukhsoh/keringanan untuk tidak berpuasa, sebagai berikut:

1. Musafir

Orang yang musafir (melakukan safar, bepergian) ada tiga keadaan:

Pertama: Jika puasa sangat memberatkan, bahkan khawatir membahayakan dirinya, maka haram baginya berpuasa. Tatkala fathu Makkah, para sahabat merasakan sangat berat dalam berpuasa. Akhirnya, Rasulullah berbuka. Akan tetapi, ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan diri puasa. Maka Rasulullah pun berkata:
أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
"Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermaksiat." (HR. Muslim No. 1114).

Kedua. Jika berpuasa tidak terlalu memberatkannya maka puasa dalam keadaan seperti ini dibenci, karena dia berpaling dari keringanan Allah, yaitu dengan tetap berpuasa padahal dia merasa berat walaupun tidak sangat.

Ketiga. Jika puasa tidak memberatkannya maka hendaklah dia mengerjakan yang mudah boleh puasa atau berbuka, Allah berfirman:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 185)108

Apabila seorang musafir tidak merasa berat ketika puasa maka ia boleh berbuka atau tetap berpuasa. Namun, manakah yang lebih afdhal, berbuka atau berpuasa?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata: "Bila antara puasa dan berbukanya sama-sama mudah, maka yang lebih utama adalah berpuasa, hal itu ditinjau dari empat segi: Pertama. Mencontoh perbuatan Rasulullah yang tetap berpuasa, berdasarkan hadits Abu Darda' dia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرَّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْخَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ
"Kami pernah berpergian bersama Nabi pada bulan Ramadhan ketika hari sangat panas, sampai ada seo- rang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya hari itu, di antara kami tidak ada yang puasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah." (HR. Bukhari No. 1945, Muslim No. 1122).

Kedua. Hal itu lebih cepat melepaskan diri dari tanggungan. Ketiga. Lebih ringan bagi seorang hamba, karena berpuasa bersama manusia lebih ringan, dan apa yang lebih ringan maka lebih utama.

Keempat. Puasanya bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan lebih utama daripada bulan lainnya. Karena alasan-alasan inilah, kami katakan bahwa puasa lebih utama." (Asy-Syarh al-Mumthi’ 6/330).

2. Orang yang sakit

Orang yang sakit terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Orang yang sakitnya terus-menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera-seperti sakit kanker dan lainnya-maka dia tidak wajib puasa karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk puasa. Orang yang keadaan sakitnya seperti ini maka hendaknya ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

Kedua: Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit demam (panas) dan sebagainya. Orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan:

a. Puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakan, wajib baginya untuk puasa karena dia tidak punya udzur.
b. Puasa memberatkannya tetapi tidak membahayakan dirinya. Dalam keadaan seperti ini puasa dibenci, karena apabila berpuasa berarti dia berpaling dari keringanan Allah, padahal dirinya merasa berat.
c. Puasa membahayakan dirinya. Maka haram baginya untuk puasa karena apabila puasa maka berarti dia mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Niza' [4]: 29)

Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya puasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya kalau puasa akan berbahaya, atau atas diagnosa dokter yang terpercaya. Maka kapan saja seorang yang sakit tidak puasa dan termasuk golongan ini, hendaklah dia mengganti puasa yang ditinggalkan apabila dia sudah sembuh dan sehat. Apabila dia meninggal dunia sebelum dia sembuh maka gugurlah utang puasanya, karena yang wajib baginya adalah untuk mengqadha puasa di hari yang lain yang dia sudah mampu melakukannya, sedangkan dia tidak mendapati waktu tersebut. (Fushulun fish Shiyam hlm. 9 Ibnu Utsaimin).

3. Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui ada empat keadaan:

Pertama: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka ia boleh berbuka dan wajib mengqadha di hari yang lain kapan saja dia sanggup, ini menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah [2]: 184)
Imam Ibnu Qudamah mengatakan: "Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya maka boleh berbuka dan wajib mengqadha saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya." (Al-Mughni 4/394).

Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqadha seperti keadaan pertama.
Imam an-Nawawi mengatakan: "Para sahabat kami mengatakan: 'Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan mengqadha, tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir puasanya membahayakan dirinya dan anaknya, dia juga berbuka dan mengqadha tanpa ada perselisihan." (Al-Majmu’ 6/177. Lihat pula Fathul Qadir 2/355 Ibnul Humam).

Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir puasanya akan membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, tidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi silang pendapat di antara ulama hingga terpolar sampai enam pendapat. Setidaknya ada tiga pendapat yang masyhur:
- Wajib qadha saja, ini pendapat Hasan Bashri, Atha', Dhahak, Nakha'i, Zuhri, Rabi'ah, al-Auza'i.
- Wajib fidyah saja, ini pendapat Sa'id bin Jubair.
- Wajib qadha dan fidyah, ini adalah pendapat Mujahid dan Syafi'i. (Ahkam Mar'ah al-Hamil hlm. 54 Yahya Abdurrahman al-Khathib).
Berkata Imam Ibnul Mundzir setelah memaparkan perselisihan ulama dalam masalah ini: "Dengan pendapat Hasan dan Atha' kami berpendapat." Yakni hanya wajib qadha saja tanpa bayar fidyah." (Al-Isyraf ’ala Madzahibil Ulama 3/152).

Keempat: Seorang wanita hamil atau menyusui yang ditakutkan atas dirinya atau anaknya kemudaratan jika ia berpuasa maka boleh baginya berbuka puasa dan wajib baginya membayar fidyah aja, Ini diqiyaskan dengan orang yang udah tua renta yg mereka sangat berat untuk berpuasa Sebagaimana yg disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan tidak ada dari para sahabat yang menyelisihi pendapat beliau, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Almughni fil fiqh jilid 3 hal 140.

Dalilnya atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu beliau pernah berkata:
إذا خافت الحاملُ على نفسها والمرضع على ولدها في رمضان يفطران ويطعمان مكان كل يومٍ مسكيناً ولا يقضيان صوما
"Jika wanita hamil ditakutkan atas dirinya, wanita menyusui ditakutkan atas anaknya jika mereka berpuasa dibulan Ramadhan maka boleh baginya untuk berbuka dan tidak berpuasa dan wajib bagi mereka memberikan makanan setiap harinya kepada fakir miskin, dan tidak ada qadha atas mereka”, atsar ini diriwayatkan oleh Atthobari dan dinukilkan oleh imam Albani dalam kitabnya Irwa’ 4/19.

Begitu juga Ibnu umar pernah ditanya mengenai wanita yang hamil, jika berpuasa ditakutkan atas anaknya kemudharatan, maka beliau berkata:
أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
"Berbukalah kamu dan berilah makan fakir miskin setiap harinya dan tidak ada qadha atasmu” (HR Ad-Daruquthni 2/207)

Pendapat ini memiliki beberapa sebab/alasan:
1. Karena mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit, tidak pas, karena ini bertentangan dengan nash dan atsar
2. Karena ayat وعلى الذين يطيقونه dalam qiraah yang lain, يطوقونه, ini menunjukkan bahwasanya hak wanita hamil dan menyusui adalah berbuka dan memberikan makanan kepada fakir miskin, tidak ada pilihan lain.
3. Adapun hadist yang menyebutkan bahwasanya Allah shubhanahu wata’ala meringankan kewajiban setengah sholat dan menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan menyusui, mengandung makna agar mereka tidak berpuasa dan gugur kewajibannya.
4. Karena tafsiran para sahabat tersebut, tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka maka menjadi ijma’ sukuty. (At-Tarjih Fi Masailissaum Waz Zakat, Muhammad Umar Bazmul, 55-64).

Masalah ini memang sangat rumit karena hujjah masing-masing pendapat cukup kuat. Hanya, yang lebih menenteramkan hati kami bahwa pada asalnya seorang wanita hamil dan menyusui tetap harus mengqadha puasa saja, sedangkan dalil-dalil tentang fidyah kita bawa kepada kondisi apabila dia tidak mampu untuk mengqodho puasanya, dan setiap orang lebih paham dan mengetahui keadaannya. Wallahu A'lam.

4. Wanita haid dan nifas

Hal ini berdasarkan hadits:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلُّ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
"Bukankah wanita jika sedang haid, maka dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kekurangan agamanya." (HR. Bukhari No. 304, Muslim No. 132).

Para ulama juga telah bersepakat bahwa wanita haid dan nifas ti- dak boleh berpuasa dan tidak sah puasanya. (Maratibul Ijma’ hlm. 40 Ibnu Hazm, al-Ijma’ hlm. 43 Ibnul Mundzir, al-Muhalla 2/238 Ibnu Hazm, al-Mughni 4/397 Ibnu Qudamah.).

5. Orang lanjut usia

Bagi orang yang sudah lanjut usia maka diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan membayar fidyah yang diberikan kepada fakir miskin. Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينِ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (QS. al-Baqarah [2]: 184)

Ibnu Abbas mengatakan: "Ielaki dan wanita renta yang berat berpuasa, hendaknya mereka berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari." (HR. Bukhari No. 4505 ), Hal ini telah disepakati oleh para ulama.

Adapun cara membayar fidyah ada dua macam:
• Membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang miskin sebatas hari yang ditinggalkan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik tatkala lanjut usia. (HR. Bukhari secara mu’allaq dan ad-Daraquthni 2/207 dengan sanad shahih.).
• Membagikan satu mud (kurang lebih setengah kilogram beras) beserta lauk-pauknya. (Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 500).

Bagaimana seseorang yang memiliki pekerjaan berat, apakah udzur yang membolehkan buka puasa?
Telah dimaklumi bersama bahwa puasa Ramadhan adalah rukun Islam dan kewajiban bagi setiap mukallaf, maka hendaknya setiap mukallaf melaksanakannya dan tidak melupakannya hanya karena dunia. Oleh karenanya, hendaknya diatur serapi mungkin antara kewajiban ibadah puasa dengan kerja mencari dunia sehingga kedua-duanya dapat terpenuhi. Para penanggung jawab selayaknya tidak memperberat pekerjaan kepada kaum muslimin sehingga membuat mereka buka puasa sebelum waktunya, tetapi hendaknya mengatur dan memberikan keringanan. Bila memang demikian maka pada asalnya para pekerja tetap wajib untuk berpuasa dan kerja berat bukanlah keringanan yang disebutkan syari'at, kecuali apabila dia sangat berat sekali untuk berpuasa yang sekiranya jika dia tetap akan berpuasa maka akan membahayakan dirinya (mati) maka boleh baginya untuk berbuka dan harus menggantinya di waktu lain. (Lihat Fatawa Ramadhan 1/384–387 dikumpulkan Asyraf Abdul Maqshud).


Post a Comment for "Golongan Yang Dapat Keringan Tidak Berpuasa"