Seputar Hukum Mengqodho puasa 2 (Materi #33 Terakhir)
Seputar Hukum Mengqodho puasa 2 (Materi #33)
Oleh : Ustadz Sirajul Yani, M.H.I
الحمد لله والصلاه والسلام على رسول الله وعلى اله واصحابه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين وبعد اخوتي في الله عزني الله واياكم
Saudara-saudaraku rahimani wa rahimakumullah, Pada kesempatan kali ini masih dalam pembahasan hukum seputar meng-qadha puasa, dan ini pertemuan yang terakhir dalam pembelajaran fiqih puasa Ramadhan, Semoga apa yang telah kita pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih. Aamiin ya rabbal 'alamiin.
Pembahasan kali ini kita akan membahas hukum meng-qadha puasa seseorang yang sudah meninggal. Seseorang yang memiliki hutang puasa wajib dan dia tidak mampu meng-qadha nya karena ada uzur syar'i sampai ia meninggal, maka tidak ada kewajiban atasnya oleh ahli warisnya, baik dibayarkan puasanya atau ditunaikan fidhiyah atasnya. Ini sebagaimana kesepakatan ulama madzhab yang empat dan yang dipilih oleh kebanyakan para ulama. Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah :
في مذاهِبِ العلماءِ فيمن مات وعليه صومٌ فاته بمَرَضٍ أو سفرٍ أو غيرهما من الأعذارِ، ولم يتمكَّن من قضائه حتى مات: ذكَرْنا أنَّ مذهَبَنا أنَّه لا شيءَ عليه ولا يُصامُ عنه، ولا يُطعَمُ عنه بلا خلافٍ عندنا وبه قال أبو حنيفة ومالك والجمهور
"Dalam pendapat madzhab-madzhab para ulama terhadap seseorang yang meninggal dan ia memiliki hutang puasa dia tidak sempat membayar hutangnya, terluput semua, karna ada uzur syar'i, karena ia sakit, karena dalam safar atau selain keduanya dari uzur-uzur syar'i dan dia tidak sempat meng-qadha puasanya sampai ia meninggal kita sebutkan pendapat madzhab kita bahwasanya tidak mengapa, tidak ada konsekuensi atasnya dan tidak digantikan puasanya dan tidak dibayarkan fidhyah atasnya tanpa ada perselisihan diantara kami dan pendapat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hanifah, Imam Malik, dan jumhur para ulama” (dalam kitab al-Majmu' jilid 6 halaman 372)
Dan ini dikarenakan dia meninggal dan belum sempat menunaikan kewajibannya karena uzur syar'i maka gugur kewajibannya dan tidak harus diganti puasanya. Adapun seseorang yang meninggal dan dia memiliki hutang puasa wajib baik itu puasa wajib, puasa nazar ataupun kafaroh sedangkan ia mampu membayarnya tetapi dia tidak membayarnya sampai ajal menjemputnya, maka hendaklah ahli warisnya yang membayar atau menggantikan puasanya. Dan jika tidak maka hendaklah dibayarkan fidhyah atasnya dan ini pendapat Imam Syafi'i, pendapat terdahulu, dan yang dipilih oleh al-Imam an-Nawawi, Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullahu ta'ala. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
يُستحَبُّ لِوَليِّه أن يقضِيَه، فإن لم يفعَلْ، قلنا: أطعِمْ عن كلِّ يوم مسكينًا
"Disunnahkan kepada walinya atau ahli warisnya atau kerabatnya meng-qadha atasnya, menggantikan puasa atasnya. Jika dia tidak melakukannya maka kita katakan berikan makanan kepada fakir miskin setiap harinya artinya membayarkan fidhyah atasnya”. (Dalam kitab asy-Syarhul Munti' jilid 6 halaman 450)
Dalilnya hadist 'Aisyah Radhiyallahu Anha bahwasanya Rasulullah shalallahu alayhi wasallam pernah bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
"Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan memiliki tanggungan puasa, maka walinya berpuasa sebagai pengganti untuknya (artinya walinya membayarkan puasanya)”, (HR Abu Daud)
Hadist di atas datang dalam bentuk peng-khabaran yang bermakna perintah akan tetapi perintahnya tidak sampai derajat wajib. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah, beliau mengatakan :
فلو قال قائل: إنَّ قَولَه صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صام عنه وليُّه، أمرٌ، فما الذي صَرَفَه عن الوجوبِ؟ فالجواب: صَرَفَه عن الوجوبِ قَولُه تعالى: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى **الأنعام: 164** ولو قلنا: بوجوبِ قَضاءِ الصَّومِ عن الميِّتِ، لَزِمَ من عدَمِ قَضائِه أن تَحمِلَ وازرةٌ وِزرَ أخرى، وهذا خلافُ ما جاء به القرآنُ
"Jika seseorang berpendapat bahwasanya sabda Nabi shalallahu alayhi wasallam hendaklah ahli warisnya menggantikan puasa atasnya sebuah perintah maka apa yang memalingkan perintah ini menjadi sunnah?. Maka jawabannya yang memalingkan hukum wajibnya menjadi sunnah firman Allah subhanahu wa ta'ala 'dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain' dan jika kita katakan wajib membayar puasa orang yang sudah meninggal, maka konsekuensinya jika dia tidak meng-qadha puasa orang yang sudah meninggal maka dia akan memikul dosa orang lain. Dan pendapat ini menyelisihi apa-apa yang datang dalam al-Qur'an" (Syarhul Munti' jilid 6 halaman 450 ).
Dan juga sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, beliau berkata :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
"Datang seseorang laki-laki kepada Nabi shalallahu alayhi wasallam dan berkata 'wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan dia mempunyai hutang kewajiban puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya?' Beliau shalallahu alayhi wasallam bersabda 'ia beliau melanjutkan hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar'" (HR Bukhari)
Kemudian bagaimana hukum qadha puasa seseorang yang masih hidup? apakah boleh? Jawabannya tidak boleh membayar atau menggantikan puasa orang lain yang mana dia masih hidup. Ini sebagaimana ijma' para ulama, disebutkan oleh Ibnu Hazm, Ibnu 'Abdil Bar, Ibnul'Arabi, al-Qabi'iyad dan al-Imam an-Nawawi rahimahumullahu jami'an . Berkata Ibnu Hazm rahimahullah :
وأجْمعوا أنَّه لا يصومُ أحدٌ عن إنسانٍ حيٍّ
"Dan telah ijma'para ulama bahwasanya tidak boleh seseorang menggantikan puasa orang lain dan dia masih hidup" (Marotibul ijma' halaman 40)
وأجمعوا على أنَّ الوكالةَ في الصَّلاة المفروضة والصِّيامِ، لا تجوزُ
"Dan para ulama telah ijma' bahwasanya mewakilkan perwakilan dalam shalat fardhu dan puasa tidak boleh" (kitab Marotibul ijma' halaman 62).
وصلى الله على نبينا محمد وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Post a Comment for "Seputar Hukum Mengqodho puasa 2 (Materi #33 Terakhir)"
Santun dalam berkomentar, cermin pribadi anda